delapan plus.com, Jakarta –
Industri film Indonesia nampaknya belum menitikberatkan pentingnya pelatihan aksen atau dialek dari sebuah daerah, suku, maupun negara, bagi pemerannya di dalam sebuah produksi film yang mengambil setting di sebuah daerah, suku, atau negara tertentu.
Sedangkan aksen atau dialek dari sebuah daerah, suku, maupun negara tersebut dibutuhkan agar pesan dari alur cerita tersebut dapat memenuhi ekspektasi bagi penontonnya sehingga menumbuhkan ikatan emosional kepada peran yang diperankannya tersebut.
Seperti film Appocalypto karya Mel Gibson, yang menggunakan bahaya Indian Aztec didalam filmnya. Atau seperti di Indonesia, ada Film Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak (Sumba), Uang Panai (Bugis) Turah (Tegal), Yuni (Jawa), dan sebagainya.
Kebutuhan dialek atau aksen bahasa daerah untuk kepentingan produksi sebuah film di Indonesia ternyata melalui proses mendengar dan meniru saja (konon kerap, Belajar sendiri, red). Bukan seperti mempekerjakan native dari satu daerah yang bisa bahasa itu, terus mereka menerjemahkannya, lalu bicara menggunakan bahasanya itu, kemudian direkam agar bisa ditiru sang pemerannya.
Tapi sayangnya hal tersebut, terjadi pada Film Setengah Hati, produksi Satu Selaras Production karya Produser Tyas Abiyoga. Jadi meski filmnya fiktif, tapi komunitas budayanya “yang dihidupkan” dalam film tersebut, untuk keperluan cerita menghidupi realita yang nyata, penekanan unsur dialek atau aksen suku tertentu itu, nyaris hilang greget. Seperti tubuh tanpa nyawa, yang seharusnya menjadi kekuatan Film Setengah Hati ini.
Film Setengah Hati sepatutnya bisa “Sepenuh Hati” diwujudkan secara detail. Padahal ketepatan soal setting cerita dan dialek para tokohnya, bisa membangun emosi antara Pemeran dalam Tokohnya dengan Penonton sebagai obyek dari penikmat film itu sendiri. Dengan kata lain, turut memperkuat alur cerita pada filmnya.
Film Setengah Hati, yang sudah bergulir di bioskop ini, sepatutnya mengangkat konflik politik pedesaan, yang nyatanya lebih rumit dan kompleks, dari urusan politik di kota besar, lebih kuat lagi, dan menjadikannya benang merahnya.
Meski harus di balut dengan kisah drama percintaan, maupun kisah konflik keluarga atau terkait urusan warisan atau sengketa tanah, masalah bisnis, iri hati, dendam masa lalu, dan sebagainya.
Film Drama Komedi ini diperankan aktor Yusuf Mahardhika dan Tissa Biani. Ide cerita dari seorang Komika, Arie Kriting, serta penggarapan skenario oleh Abdur Arsyad yang juga seorang Komika. Dan film ini disajikan secara ringan dan menghibur. Film mengambil lokasi shooting di Cianjur, Jawa Barat, dan disutradarai Hastobroto.
“Di film ini, kami hanya mencoba mengangkat peristiwa yang terjadi disalahsatu desa,” jelas Tyas Abiyoga sang Produser.
Dan Hasto Broto menambahkan bahwa,” Kami hanya mengoptimalkan cerita yang ada. Fokus saya adalah bagaimana menyatukan cerita yang asyik dengan akting para cast dengan tujuan menghibur penonton. Itu saja,”.
Jadi tidak perlu berekspektasi dari film ini, yang penting dengan hadirnya sejumlah komika. Film ini bisa dan layak untuk menghibur di tengah kepenatan masyarakat menghadapi suasana kontestasi Pilpres 2024 nanti. Selamat menikmati, dan Semoga terhibur.
)***D Junod