delapanplus.com – Jakarta,
Berburu takjil memerlukan kemauan keras untuk mendapatkannya. Sebab, telat sedikit saja, maka takjil pun lenyap entah dimana. Oleh karena itu, berburu takjil harus lebih awal, jadi telat sedikit saja tidak akan kebagian karena bukan muslim saja yang berburu terlebih dahulu untuk takjil, non muslim juga ikut berburu takjil.
Takjil memang sarat dengan nuansa persahabatan, gayeng, mempersatukan, saling membutuhkan antara sesama umat beragama.
Inilah fenomena Berburu Takjil pada tradisi budaya nusantara ini, butuh kecerdasan tersendiri mengingat adanya larangan tutupnya warung makanan (restoran) di bulan Ramadhan.
Dan telah menjadi tradisi budaya kalau Berburu Takjil kemudian juga menjadi “eskapasi” (pelarian) umat non muslim yang ingin turut memaknai di bulan Ramadhan ini. Atau jangan jangan memborong makanan untuk Takjil karena takut keduluan oleh orang-orang muslim yang akan berbuka puasa !?
Inilah Ramadhan Rahmatan Lil Alamain, dimana sebuah proses akulturasi terciptanya kebersamaan antara Islam dan Non Muslim, yang menjadi hikmah “tersembunyi” dari Takjil Ramadhan.
Kaum muslimin dan muslimat sesungguhnya mendapat keuntungan sekaligus kebahagiaan karena dagangan Takjilnya cepat laku, cepat habis, lekas mendatangkan keuntungan. Kalau untung bisa buat bayar zakat, bikin sayur ketupat, beli kue dan sirup lebar, juga pastinya baju lebaran.
Dengan kata lain, sesungguhnya ini menunjukkan kepada kita mengenai lahirnya sebuah budaya dan peradaban baru di mana umat Islam dan non Islam dipersatukan oleh makanan (Takjil). Makanan untuk berbuka puasa untuk kaum muslimin dan dijual serta diperuntukkan bagi muslim. Tapi fenomenanya banyak makanan takjil yang dibeli, bahkan diborong masyarakat non Islam.
Takjil makanan untuk berbuka puasa bagi umat Islam bisa dibeli siapa saja, dan umat Islam senang karena dagangannya cepat habis. Didalam itu tercipta interaksi antar umat beragama dan makanan takjil telah mempersatukan umat.
)**by Tjoek/ foto TCS