Menukil Pameran Tunggal Ke – 4 Yeni Fatmawati, Merengkuh Kuasa Hidup, Menciptakan Ruangku Sendiri Dalam Kemungkinan Ruang yang Kutemukan

Jakarta, Delapanplus.com –

Getaran sapuan kuasnya, termanifestasi dalam maknawi pada jejak aliran warna. Menumpuk dan saling bersilang pada bentuk-bentuk realistic maupun abstrak. Begitulah cara Yeni Fatmawati menemukan ruangnya.

“Aku, kemudian, menciptakan ruangku sendiri dalam kemungkinan – kemungkinan ruang yang kutemukan. Di ruang pribadiku lah, dalam lapisan juga kedalamannya, aku pun merasakan bebas mengekspresikan kegembiraan, kesedihan, dan terutama keindahan hidup di setiap perjalanan hidupku, ” demikian ungkap Yeni Fatmawati, seniman dan juga praktisi hukum, saat menggelar pameran tunggal ke empatnya bertajuk “Merengkuh Kuasa Hidup”, yang berlangsung di Galeri ZEN1, Menteng, Jakarta Pusat dan dibuka oleh Peter F Gontha (4/8).

Pameran yang berlangsung hingga (31/8) menghadirkan sebanyak 25 lukisan yang terbagi menjadi 9 series. Dimana Yeni Fatmawati akhirnya memutuskan tak memilih mengerjakan bentuk atau gambaran tertentu untuk ‘mewakilkan’ makna tentang aneka pengalaman hidup yang dijalaninya—sebagaimana bisa kita melihat pada karya-karya yang dipamerkan kini.

Yeni menuturkan pemaknaan seni adalah medium demi menggali dan memahami pengalaman hingga sampai ke kedalaman makna hidup, dan ekspresi seni juga berkomunikasi pada dunia, mengungkap berbagai hal yang tak tersampaikan dalam kata-kata.

Hidup dan Seni, dua sisi berbeda dari satu bilah koin yang sama. Melalui ekspresi karya seni, Yeni Fatmawati berharap dapat menghidupkan inspirasi hidup bagi pihak lain. Sedangkan ekspresi keindahan seni, baginya bertujuan untuk menemukan keseimbangannya.

Seni, mungkin, telah dan akan terus mengajarkan pada kita semua agar mampu melihat wujud keindahan dalam tiap-tiap kesedihan, kegelisahan, atau kekacauan. Bukankah kita, sebagai manusia, memiliki kebebasan untuk mencari dan menemukan makna serta nilai keseimbangan bagi kualitas hidup kita masing-masing?

Seperti diketahui, Yeni Fatmawati baru saja menyelesaikan studi Magisternya di Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB yang menampilkan lukisan-lukisan dengan teknik yang berbeda dari sebelumnya. Dan di Pameran Tunggal ini, Yeni Fatmawati menampilkan Tiga karya lukis realisnya.

Sebagai catatan, Proyek Seni yang dikerjakan Yeni Fatmawati di program Magister Seni ITB, berkaitan dengan permasalahan sense, soal bagaimana ia merenungkan perjalanan hidup dirinya. Karya-karya yang ia ciptakan berkisar pada pengalaman hidup dirinya, mengenai nilai kegembiraan, kebahagiaan, dan pemenuhan yang [ternyata mesti] bercampur dengan fragmen-fragmen kesedihan, duka, dan kehilangan.

Sementara kurator pameran, Rizki A. Zaelani, menjelaskan bahwa Yeni Fatmawati mungkin wakil dari sedikit orang yang memiliki kesibukan yang tak biasa. Dia bekerja di bidang hukum sekaligus juga berkarya di bidang seni—khususnya seni lukis dan patung, selain juga bidang sastra dan puisi.

Bagi orang kebanyakan, hukum dan seni, bahkan, sering dianggap sebagai dua bidang yang bertentangan; Yang satu menuntut aturan dan kepastian sedang yang lainnya justru menghendaki kebebasan dan ketidak-pastian ukuran.

Namun, sebenarnya, keduanya memiliki irisan ruang imajinasi yang kurang lebih sama untuk membayangkan adanya nilai yang bisa dianggap universal, atau universalitas nilai. Bidang hukum membayangkan universalitas nilai ‘kebaikan’ dengan kaitannya pada ‘keadilan’, sedang seni mengimajinasikan kaitan nilai ‘kebaikan’ dengan pengalaman ‘keindahan’ yang dibayangkan bersifat universal.

Dan ‘Proyek Seni’ yang Yeni Fatmawati kerjakan berkaitan dengan perenungan tentang nilai hidup, mengenai makna – makna positif yang ‘ditemukan’ dalam alur perjalanan hidup yang dijalaninya hingga kini. Dimana dalam studi seni rupa dikaitkannya pada universalitas nilai. Seperti pertanyaan, “Apakah makna hidup, pada akhirnya memerlukan obyek aktual atau gambaran pengalaman faktual yang bisa dipikirkan dan direnungkan.?”

Hidup memiliki kuasa, menjelaskan kekuatan atau kekuasaan yang berada ‘di baliknya,’ atau ‘di atasnya.’ Sebagai seorang praktisi hukum, Yeni tentu juga punya cara khas untuk mengenali masalah kekuatan atau kekuasaan dalam praktek hidup.

Setiap obyek hukum, tentu, berkaitan dengan soal kuasa dan kepentingan. Namun demikian, sikap yang dijalani Yeni sebagai seniman, tentu saja berbeda dengan caranya dalam menangani masalah hukum.

“Saya menduga, dalam momen-momen tertentu, Yeni Fatmawati (sebagai praktisi hukum) ingin membebaskan dirinya dari pengetahuan dan sikap dirinya untuk ‘memihak’ pada pihak yang masing – masing bersengketa kuasa untuk kepentingan hidup,” jelas Rizki A.Zaelani.

Dalam sikapnya sebagai seorang seniman itu lah, maka Yeni Fatmawati justru memihak pada kuasa hidup itu sendiri, pada pelajaran dan anugerah yang diberikan hidup, yang berada di luar kendali dirinya, di luar kendali setiap orang.

Pada galibnya tak sedikit seniman, di Indonesia khususnya, yang menganggap ‘obyek’ itu sebagai simbol atau bentuk yang menggambarkan sesuatu. Namun, apakah simbol atau bentuk seperti itu benar – benar bisa mewakili nilai pengalaman?

Silakan nukil karya karya lukis Yeni Fatmawati dalam Pameran Tunggalnya dan rasakan bagaimana Yeni memaknai perjalanan hidupnya untuk membersamainya.

)***D Junod/ Nawasanga/ Foto Ikhsan

By Redaksi

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *