Jakarta, Delapanplus.com –
Dengan memiliki sumber daya dan infrastruktur yang signifikan untuk mendukung produksi hingga distribusi pangan, TNI dinilai perlu dilibatkan lebih intensif dalam menjaga ketahanan pangan nasional, demikian ungkap Direktur Eksekutif Human Studies Institute, Rasminto.
Ditambahkannya pula, hal tersebut penting dilakukan mengingat ketahanan pangan bukan hanya tentang ketersediaan makanan, tetapi menyangkut kedaulatan, stabilitas, dan masa depan suatu bangsa.
Apalagi, produksi pangan global tengah bergejolak karena beberapa faktor, salah satunya perubahan cuaca ekstrem, jelasnya lagi.
“Problematika lainnya yang perlu jadi analisis kritis adalah konflik geopolitik, seperti perang Rusia-Ukraina, juga memperburuk situasi ketahanan pangan global. Rusia dan Ukraina adalah produsen utama gandum, menyumbang sekitar 25% dari ekspor gandum global. Konflik yang terjadi menyebabkan gangguan signifikan pada rantai pasok, dengan harga gandum global meningkat lebih dari 30% sejak perang dimulai pada tahun 2022,” tutur Direktur Eksekutif Human Studies Institute, Rasminto (29/7).
Dan perlu diketahui, bahwa krisis di Timur Tengah turut memperburuk situasi ketahanan pangan. Konflik berkepanjangan di kawasan ini mengakibatkan banyak lahan pertanian yang tidak bisa diolah dan menyebabkan pengungsian massal, sambungnya.
Keterlibatan TNI dalam menjaga ketahanan pangan nasional sudah berlangsung sejak lama. Pada era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), misalnya, Kementerian Pertanian (Kementan) menggandeng TNI dalam program cetak sawah baru seluas 500 ribu hektare di Papua Selatan.
Dengan kata lain, jika saja produktivitas per hektare dapat menghasilkan minimal 5 ton gabah padi per panen, maka akan menghasilkan 2,5 juta ton gabah padi per musim panen. Dan jika saja setiap tahun dapat dua kali panen, maka setahun berkontribusi 5 juta ton gabah padi, lanjut pengamat geografi politik Universitas Islam ’45 (Unisma) Bekasi ini.
TNI perlu kembali dilibatkan dalam megaproyek lumbung pangan (food estate). Rasminto mengakui program ini memiliki kekurangan, tetapi mestinya dievaluasi agar hasilnya lebih optimal.
“Food estate, yang merupakan proyek pertanian skala besar untuk meningkatkan produksi pangan, memerlukan perbaikan dan penyesuaian dengan melihat berbagai tantangan yang ada,” katanya.
Setidaknya terdapat catatan kritis yang diperlukan, yakni perlu adanya peningkatan infrastruktur irigasi, akses ke teknologi pertanian modern, dan dukungan logistik untuk memastikan hasil yang maksimal. Selain itu, partisipasi aktif petani lokal dan pemberdayaan masyarakat sekitar juga menjadi kunci keberhasilan program ini. Melalui perbaikan dan penyesuaian yang berkelanjutan, food estate dapat menjadi solusi strategis untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional, tegasnya.
Rasminto mengingatkan, ketahanan pangan harus didukung kebijakan yang kuat, infrastruktur yang memadai, dan kerja sama internasional. Ini sesuai laporan World Food Programme (WFP) 2023.
Jika Indonesia gagal membangun ketahanan pangan nasionalnya, maka akan berdampak serius. Sebab, akan memengaruhi sektor lain, seperti kriminalitas, perekonomian, isu sosial, dan kesehatan.
“Ketidakmampuan untuk menyediakan pangan yang cukup bagi seluruh penduduk dapat menyebabkan kelaparan, malnutrisi, dan meningkatnya angka kematian. Ketidakstabilan pangan juga dapat memicu kerusuhan sosial dan konflik, seperti yang telah terlihat di negara-negara lain,” jelasnya.
Oleh karena itu, membangun ketahanan pangan yang kuat bukan hanya masalah kesejahteraan, tetapi juga merupakan isu strategis bagi keamanan dan stabilitas nasional, tukas Rasminto
Dirinya pun mengajak masyarakat secara luas turut berpartisipasi aktif dalam menciptakan sistem pangan yang tangguh dan berkelanjutan.
“Kita patut meyakini bahwa Indonesia dapat mengatasi tantangan krisis global dan memastikan ketersediaan pangan bagi seluruh rakyatnya sekaligus memperkuat kemandirian pangan nasional,” pungkasnya.
)**Yuri Gharib