Wage (Rudolf) Soepratman, Kisah Panjang Dibalik Indonesia Raya

Jakarta, Delapanplus.com –

Semua anak bangsa pasti mengetahui kalau lagu kebangsaan yang bertajuk Indonesia Raya diciptakan oleh seorang komposer yang bergelar Pahlawan Nasional.

Musik dari komposisi awal yang berjumlah tiga stanza ini pertama sekali diperdengarkan dalam Kongres Pemuda II tahun 1928, dan tambahan lirik menjadikannya sangat terkenal.

Seorang pebisnis rekaman beretnis Tionghoa bernama Tio Tek Hong kemudian melihat peluang bagus dengan merekam lagu ini untuk dijual. Perusahaan rekaman miliknya ini memang khusus memproduksi musik berirama kroncong, stambul dan juga lagu-lagu berbahasa Melayu sebagai produk yang spesial.

Piringam hitam bisa diperoleh di toko Tio Tek Hong yang terletak di daerah Pasar Baru, dengan royalty yang diberikan kepada Wage Rudolf Soepratman sebagai pemegang hak cipta.

Ketenaran lagu ini antara lain membuatnya menjadi lagu utama saat rapat-rapat konsolidasi dari pergerakan para pemuda. Yang jelas membuat gerah pihak Belanda, dan kemudian mengeluarkan peraturan untuk melarang serta memberangus semua rekaman yang ada.

Semakin dilarang lagu yang menumbuhkan semangat juang di hati setiap insan yang mendengarkannya, justru gaungnya semakin membahana.

Wage Rudolf Soepratman lahir 9 Maret 1903 di Meester Cornelis, Batavia atau daerah yang sekarang dikenal dengan nama Jatinegara. Hari lahirnya itu yang menurut pasaran Jawa kebetulan jatuh pada Selasa Wage, yang kemudian menjadi penasbih namanya. Wage merupakan anak ke tujuh dari 9 bersaudara dan nanti dia mengikuti kakak tertua pergi ke Makassar untuk melanjutkan sekolah.

Beberapa bulan kemudian, sang ayah yang adalah seorang anggota tentara KNIL, kemudian menambahkan nama Soepratman sebagai pelengkap di belakangnya. Wage terlahir dari keluarga Islam, dari sekte Ahmadiyah.

Banyak kalangan yang menjadi rancu karena ada tambahan nama Rudolf. Nama Rudolf disisipkan di antara namanya supaya dia kemudian bisa bersekolah di perguruan menengah milik komunitas orang Belanda.

Ini adalah akal-akalan dari kakak iparnya Willem van Eldik, seorang peranakan yang menjadi mentor dan sekaligus guru musiknya. Walaupun belakangan siasat ini diketahui oleh pihak sekolah yang membuat Wage terpaksa harus dikeluarkan dan melanjutkan di sekolah umum yang berbahasa Malaya.

Van Eldik memberikan sebuah biola sebagai hadiah ulang tahun ke 17, dan bakat bermusik Wage yang ciamik membuat mereka mendirikan sebuah band untuk bermain di berbagai acara.

Wage membuat berbagai komposisi, dengan irama yang menghentak serta lirik-lirik yang membangkitkan semangat berbangsa. Beberapa di antaranya yang juga terkenal adalah lagu Ibu Kartini atau Dari Barat Sampai Ke Timur, serta Pahlawan Merdeka.

Beberapa dari komposisi yang terakhir diciptakan oleh Wage adalah lagu Selamat Tinggal yang ditulis pada tahun 1938 beberapa saat sebelum dia berpulang. Mendengarkan liriknya yang benar-benar menyayat hati,..selamat tinggal tanah airku, tanah tumpah darahku.. bisa membuat airmata berlinang.

Wage memang sudah lama menderita sakit sesak di dada, dan dengan tubuh yang ringkih kemungkinan besar dia menderita tuberkulosa sebagai penyebab radang. Beliau wafat saat dini hari tepat pada tanggal yang nanti akan menjadi keramat bagi bangsa Indonesia yaitu 17 Agustus 1938, diusia 35 tahun dengan status lajang.

Sayang, walaupun Wage memang khusus menciptakan lagu Indonesia Raya sebagai lagu Kebangsaan tetapi dia tidak sempat menyaksikan karyanya berkumandang di seluruh tanah Nusantara mengiringi naiknya Sang Saka Merah Putih ke angkasa.

)**B. Uster Kadrisson

By Redaksi

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *