Jakarta, Delapanplus.com –
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf mendesak agar pihak sekolah bertanggung jawab atas kasus bullying siswa SMA Binus Simprug, Jakarta. Komisi X DPR juga mendorong Pemerintah memperbanyak program atau event bagi anak remaja menyusul maraknya kasus bullying yang terjadi di sekolah.
“Menurut saya Binus sebagai sekolah harus diperiksa juga dan harus ada sanksi. Untuk itu kami minta kepada Kemendikbud agar melakukan teguran dan sanksi kepada sekolah – sekolah jika melakukan pembiaran kejadian bullying di lingkungan sekolah,” kata Dede Yusuf (23/9).
Dede menyebut, ada tiga faktor yang dapat menyebabkan terjadinya bullying di lingkungan sekolah. Pertama, pihak sekolah menjadikan itu sebagai sesuatu yang umum atau biasa.
Kedua, satgas anti-bullying yang dibentuk oleh Permendikbud itu tidak jalan dan ketiga ada kemungkinan guru ataupun juga tenaga pengajar yang ada di sana takut dengan siswanya.
“Nah kenapa takut dengan siswanya, ini yang harus diselidiki apakah karena faktor ekonomi, faktor keuangan, faktor jabatan atau apapun juga,” jelasnya.
Soal bentuk sanksi, Dede menyerahkan kembali kepada pihak Pemerintah untuk menentukan yang terbaik. Namun harus dipastikan ada efek jera di dalamnya sehingga tidak terulang kembali kasus bullying di sekolah pada masa mendatang.
“Hukuman itu bisa bentuk administratif, bisa juga dalam bentuk skala aturan. Ini saya pikir yang paling tepat, dan yang bisa memberikannya adalah dari Pemerintah sendiri. Baik dinas pendidikan dan kementerian pendidikan,” jelas Dede.
Dalam konteks perundungan, lanjut Dede, peran sekolah menjadi sangat penting. Pasalnya berdasarkan data Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), kasus bullying di sekolah pada tahun 2023 meningkat dari 21 kasus pada tahun 2022 menjadi 30 kasus.
Dari 23 kasus bullying yang tercatat oleh FSGI pada Januari hingga September 2023, 50 persen terjadi di jenjang SMP, 23 persen di jenjang SD, 13,5 persen di jenjang SMA, dan 13,5 persen di jenjang SMK.
Dede menyebut, sekolah harus bertindak tegas mengatasi masalah bullying dengan melakukan evaluasi sistem. Sehingga kasus perundungan tidak terkesan dibiarkan oleh sekolah dan menjadi budaya yang berulang.
“Sebenarnya perundungan bisa terjadi karena mungkin ada pembiaran yang terjadi dari pihak sekolah, tapi itu tidak ditegur karena dianggap bagian dari budaya,” pungkasnya.
Menurutnya Binus sebagai pihak sekolah harus diperiksa juga dan harus ada sanksi. Untuk itu kami minta kepada Kemendikbud agar melakukan teguran dan sanksi kepada sekolah-sekolah jika melakukan pembiaran kejadian bullying di lingkungan sekolah, kata Dede Yusuf.
Menurut Dede, ada tiga faktor yang dapat menyebabkan terjadinya bullying di lingkungan sekolah. Pertama, pihak sekolah menjadikan itu sebagai sesuatu yang umum atau biasa, kedua satgas anti bullying yang dibentuk oleh Permendikbud itu tidak jalan dan ketiga ada kemungkinan guru ataupun juga tenaga pengajar yang ada di sana takut dengan siswanya.
“Nah kenapa takut dengan siswanya, ini yang harus diselidiki apakah karena faktor ekonomi, faktor keuangan, faktor jabatan atau apapun juga,” jelasnya.
Soal bentuk sanksi, Dede menyerahkan kembali kepada pihak Pemerintah untuk menentukan yang terbaik. Namun harus dipastikan ada efek jera di dalamnya sehingga tidak terulang kembali kasus bullying di sekolah pada masa mendatang.
“Hukuman itu bisa bentuk administratif, bisa juga dalam bentuk skala aturan. Ini saya pikir yang paling tepat, dan yang bisa memberikannya adalah dari Pemerintah sendiri. Baik dinas pendidikan dan kementerian pendidikan,” jelas Dede.
“Dinas pendidikan karena sesuai dengan tupoksinya yaitu SMA , SMK itu di bawah provinsi. Kalau kementerian sebagai pengampu daripada peraturan pendidikan secara keseluruhan. Mungkin kalau tidak adanya sanksi, kejadian bullyingvseperti ini akan menjadi cerita berulang yang kita dengar,” lanjutnya.
)**D.Junod