Jakarta (Delapanplus) :
Komite III DPD RI melakukan upaya Inventarisasi Materi Pengawasan Atas Pelaksanaan UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, yang membahas persoalan Upah dan Standar Hidup Layak bagi para pekerja di Indonesia.
“Hakikatnya pengusaha wajib melaksanakan ketentuan perihal upah minimum sesuai yang ditetapkan pemerintah, sesuai aturan yang berlaku, namun perlu adanya win-win solution antara pengusaha dan pekerja,” demikian Ketua Komite III Filep Wamafma, di Gedung DPD RI, Komplek Parlemen Senayan Jakarta (21/1).
Solusi Penetapan Upah Minimum
Filep mengatakan, harus ada solusi lebih lanjut akibat dari penetapan Upah Minimum tahun 2025 yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 16 Tahun 2024 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2025 yang pada pelaksanaannya menimbulkan berbagai persoalan antara pengusaha dan pekerja.
Dalam forum rapat ini, Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban menyatakan, KSBSI mengapresiasi kenaikan UMP 6.5%, meskipun masih di bawah perhitungan internal KSBSI pada angka 7.74% dan adanya pembatalan kenaikan PPN 12%.
Upah Layak
Menurut Elly, pekerja dan buruh di Indonesia berhak mendapatkan upah yang layak dan mampu menghidupi dirinya maupun keluarganya, sebagai dampak dari tingginya inflasi dan naiknya harga bahan pokok.
Elly juga mengkhawatirkan akan terjadi gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat dari kenaikan upah ini dan menyarankan agar menjadi perhatian pemerintah.
“Kami berharap peran pemerintah untuk menurunkan harga bahan pokok, juga revisi UU Ketenagakerjaan yang baru dengan pengawasan terhadap kebijakan upah dan peningkatan proteksi sosial dan akses jaminan sosial bagi pekerja,” harap Elly.
Dunia Usaha Aktor Utama Kegiatan Ekonomi
Menanggapi hal itu, Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Bob Azam, melihat dalam proses penetapan Upah Minimum 2025 mengalami kenaikan sebesar 6,5%.
Apindo menilai masukan dari dunia usaha sebagai aktor utama yang menjalankan kegiatan ekonomi nampaknya belum menjadi bahan pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan.
“Seringkali proses perundingan Dewan Pengupahan menghadapi berbagai tantangan yang menghambat terciptanya dialog yang harmonis dan konstruktif,” ungkapnya.
Sehingga menjadi tantangan untuk mencapai kesepakatan yang transparan, adil, dan berbasis musyawarah sebagaimana diharapkan, tambahnya lagi.
Upah Cerminkan Keadilan
Dalam rapat ini, Pakar Kebijakan Publik, Payaman J. Simanjuntak memaparkan bahwa filosofi dalam menetapkan upah seharusnya mencerminkan keadilan sebagai imbalan atas jasa kerja yang diberikan seseorang terhadap perusahaan atau organisasi.
Kemudian menghitung beban kerja yang sesuai jabatan kompetensi, dan kecukupan untuk kebutuhan hidup layak. Juga memuat adanya sistem insentif, sesuai dengan produktivitas kerja.
Payaman menambahkan, bahwa pemerintah dapat menempuh beberapa cara melalui sistem pelaporan peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Selain menerima laporan dari pekerja atau masyarakat, serta dari temuan oleh pegawai pengawas.
“Ketentuan upah minimum berlaku hanya bagi pekerja pemula. Sedangkan bagi yang pengalaman kerja atau berpendidikan lebih tinggi dari pendidikan dasar harusnya menerima upah yang lebih besar dari UMP/UMK,” jelasnya.
Filep menyebutkan pula, Laporan Aspirasi Masyarakat Daerah (Asmasda) terkait kenaikan upah 2025 yang dihimpun tersebut, menemukan adanya ketidaksesuaian upah minimum dengan kebutuhan hidup layak.
Selain adanya pelanggaran terhadap implementasi UMP dan kurang optimalnya penegakan hukum bagi perusahaan yang melanggar ketentuan UMP.
Juga adanya ketimpangan upah pada sektor formal dan informal yang mengkhawatirkan, dari kenaikan upah, yakni menimbulkan beban bagi dunia usaha terutama sektor UKM dan usaha kecil.
)**Mas/ Nawasanga