Jakarta, Delapanplus.com –
Pdt. Penrad Siagian, Anggota Badan Akuntabilitas Publik (BAP) DPD RI, menyampaikan 5,4 juta pekerja migran ilegal rentan TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang).
Kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) tersebut banyak mengorbankan anak-anak bangsa.
Demikian saat Pdt. Penrad Siagian hadir dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan BP2MI di Ruang Rapat BAP, Kompleks DPD RI, Jakarta (4/12).
Pdt. Penrad Siagian pun menyoroti data pekerja migran yang dirilis oleh World Bank dan BP2MI, yang menunjukkan potensi banyaknya pekerja ilegal menjadi korban perdagangan manusia.
Data World Bank tahun 2017 mencatat 9 juta warga negara Indonesia bekerja di luar negeri, sementara data BP2MI mencatat 3,6 juta pekerja migran resmi.
Selisih 5,4 juta pekerja tersebut terindikasi pekerja ilegal yang rentan menjadi korban perdagangan manusia dan tidak mendapatkan perlindungan negara.
“Sebanyak 5,4 juta anak bangsa ini tidak masuk dalam rekap perlindungan sesuai Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017,” ungkapnya.
“Mereka adalah korban tidak tercatat sebagai pekerja migran resmi,” jelas Penrad.
Ketidaksesuaian data menjadi indikasi lemahnya sistem perlindungan dan pengawasan pekerja migran Indonesia, khususnya pada sektor informal, jelasnya.
Penrad juga menyoroti UU Nomor 18 Tahun 2017 yang belum mencakup perlindungan bagi pekerja informal.
Seperti banyaknya kasus pekerja informal yang meninggal dunia, tidak digaji, atau menjadi korban penyiksaan.
“Pekerja migran informal sering menjadi korban eksploitasi. Perlu merevisi UU agar mendapat perlindungan. Bagaimanapun mereka bagian dari anak bangsa,” tegasnya.
Pdt. Penrad mengungkapkan bahwa sindikat perdagangan manusia melibatkan agen pengiriman pekerja migran atau P3MI (dulu dikenal sebagai PJTKI), yang berperan besar mengirimkan tenaga kerja ilegal ke luar negeri.
Bahkan laporan khusus sebuah media mengungkapkan sindikat ini mengeruk keuntungan hingga ratusan miliar rupiah setiap harinya.
“Perlu ada revisi regulasi terkait P3MI, jika menemukan pelanggaran, agen-agen harus segera menutupnya tanpa kompromi,” jelas Pdt. Penrad.
Penrad mencontohkan kasus korban perdagangan manusia bernama Zidan Dzil Ikram (18) dari Kamboja, yang berhasil dipulangkan dari Kamboja melalui inisiatifnya.
Zidan warga Jalan Sei Padang, Kelurahan Durian, Kecamatan Bajenis, Tebingtinggi, Sumut, berhasil dipulangkan setelah berkoordinasi dengan Dubes RI untuk Kamboja, Santo Darmosumarto.
Penrad pun menyoroti lambannya prosedur resmi dalam menangani korban. Sering kali menyulitkan upaya penyelamatan. Disamping lemahnya pemahaman Pemda.
Khususnya terkait proses pengiriman tenaga kerja resmi ke luar negeri. Guna memutus rantai perdagangan manusia ini.
Penrad mendesak BP2MI dan pemerintah menyederhanakan prosedur penanganan korban TPPO dan memberikan perlindungan bagi semua pekerja migran, baik formal maupun informal.
“Kita harus melindungi anak bangsa. Jangan ada lagi kompromi dalam menangani mafia perdagangan manusia. Dosa mereka tetap dosa,” tutupnya.
)**Yuri/ Tjoek