Jakarta (Delapanplus) :
India, sebagai salah satu importir komoditas terbesar Indonesia, baru-baru ini menyampaikan kekhawatirannya mengenai kondisi neraca perdagangan yang timpang. Sementara Indonesia menikmati surplus, India justru mencatat defisit. Hal ini memicu diskusi hangat di antara kedua negara.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Desember 2024, India menempati posisi kedua sebagai penyumbang surplus neraca perdagangan Indonesia, mencapai US$1,02 miliar.
Peringkat pertama ditempati oleh Amerika Serikat dengan surplus sebesar US$1,75 miliar. Namun, patut dicatat bahwa surplus perdagangan ini mengalami penurunan dari bulan sebelumnya yang sebesar US$1,12 miliar, serta jauh lebih rendah dibandingkan Desember 2023 yang mencapai US$1,42 miliar.
Kondisi surplus yang terus berlanjut ini membuat India mengambil langkah tegas. India mulai menerapkan berbagai kebijakan pembatasan perdagangan terhadap Indonesia, seperti penetapan tarif bea masuk untuk sejumlah komoditas dan pembatasan kuota ekspor sawit serta batu bara dari Indonesia.
Hashim Djojohadikusumo, yang mendampingi Presiden RI Prabowo Subianto dalam kunjungan ke India pekan lalu, mengungkapkan bahwa India menyampaikan kekhawatirannya terkait defisit perdagangan yang mencapai US$13 miliar atau setara Rp212 triliun.
Meskipun demikian, Hashim menegaskan bahwa hubungan kedua negara tetap baik, yang terlihat dari sambutan hangat India kepada Presiden Prabowo sebagai tamu utama dalam perayaan Hari Nasionalnya.
Namun, pertanyaan besar muncul. Apakah kebijakan protektif India ini akan berpengaruh terhadap pangsa pasar minyak kelapa sawit (CPO) Indonesia?
India, yang menjadi salah satu dari lima besar pasar terbesar untuk CPO Indonesia, tampaknya tetap menjadi mitra strategis yang penting. Meski India mempertimbangkan mencari sumber CPO dan batu bara dari negara lain, harga yang lebih tinggi di pasar global menjadi tantangan tersendiri.
Dalam jangka panjang, Indonesia perlu memperhatikan dinamika ini untuk menjaga stabilitas ekonomi dan keberlanjutan perdagangan internasionalnya. Dan tetap terjaganya hubungan baik antara kedua negara menjadi kunci penting untuk memastikan kelancaran arus ekspor komoditas utama, terutama minyak kelapa sawit dan batu bara, yang menjadi tulang punggung ekspor Indonesia.
Dengan kondisi yang semakin dinamis, Indonesia perlu meningkatkan daya saing produk ekspor, khususnya untuk komoditas andalan seperti CPO dan batu bara. Peningkatan kualitas dan efisiensi produksi, serta diversifikasi pasar tujuan ekspor menjadi langkah strategis yang harus segera dilakukan.
Apakah Indonesia siap menghadapi tantangan ini? Hanya waktu yang bisa menjawab. Yang pasti, diplomasi ekonomi dan strategi perdagangan yang tepat akan sangat menentukan posisi Indonesia di kancah perdagangan global.
)**Don