Delapanplus.com – Dewan Pers kembali menegaskan bahwa seluruh sengketa terkait produk jurnalistik, termasuk permintaan penghapusan (takedown) atau somasi kepada media, hanya dapat diproses melalui mekanisme resmi pengaduan ke Dewan Pers. Penegasan ini disampaikan di tengah meningkatnya tekanan terhadap sejumlah redaksi akibat pemberitaan konflik pengelolaan sekolah.
Ketua Dewan Pers Prof. Komaruddin Hidayat menilai praktik meminta media menghapus berita secara langsung merupakan bentuk pelanggaran terhadap Undang-Undang Pers maupun Pedoman Pemberitaan Media Siber (PPMS).
“Setiap keberatan terhadap pemberitaan harus melalui Dewan Pers. Tidak ada pihak yang bisa mendesak redaksi men-takedown berita tanpa proses yang sah,” ujar Prof. Komaruddin Hidayat dalam Konsultasi Dewan Pers mengenai pemberitaan seputar YPPBA dan PT HighScope Indonesia (01/12/2025).

Dewan Pers mencatat semakin banyak kasus keberatan pemberitaan yang disampaikan melalui cara-cara tidak prosedural, seperti intimidasi, permintaan maaf sepihak, hingga somasi langsung. Cara tersebut dinilai bertentangan dengan mekanisme resmi yang telah ditetapkan.
“Kalau ada pihak memaksa media menghapus berita tanpa laporan resmi, justru patut dicurigai. Mekanismenya jelas, bukan tekanan,” tegas Prof. Komaruddin Hidayat.
PPMS juga menegaskan bahwa berita tidak dapat dihapus semata-mata karena permintaan pihak luar, kecuali dalam kondisi terbatas seperti kasus anak, korban kekerasan seksual, atau atas pertimbangan Dewan Pers.
Dewan Pers turut mengingatkan dua pelanggaran yang paling sering ditemukan dalam pemberitaan :
- Berita tidak berimbang, ketika pihak terkait tidak diberikan kesempatan memberikan tanggapan.
- Kurangnya uji informasi, terutama dalam berita yang hanya mengutip siaran pers tanpa verifikasi.
“Jumpa pers hanya bahan awal. Untuk menjadi berita, harus diverifikasi,” ujar Prof. Komaruddin Hidayat
Dalam sesi konsultasi tersebut, pakar komunikasi Prof. Effendi Gazali menegaskan bahwa Dewan Pers adalah rujukan utama penyelesaian sengketa pers. “Tekanan itu biasa, tapi jalurnya tidak boleh salah. Kalau keberatan, ya lapor ke Dewan Pers,” ungkapnya.
Selain itu Prof. Effendi Gozali juga menyoroti persoalan hukum terkait pengelolaan sekolah yang sedang ramai diperdebatkan, termasuk dugaan pengambilalihan operasional tanpa dasar legal yang kuat. “Jika izin sah lalu operasionalnya diambil alih, itu tidak dibenarkan,” ujarnya.

Sementara itu Magdalena Handry selaku pihak YBTA dan Chandra Goba, SH selaku kuasa hukum YBTA mendatangi Dewan Pers setelah sejumlah media mendapat somasi dari pihak Yayasan Perintis Pendidikan Belajar Aktif (YPPBA). Mereka meminta penegasan hukum terkait langkah pemberitaan yang telah dilakukan media.
Menurut Chandra Goba, SH, Dewan Pers telah menegaskan bahwa somasi langsung kepada media tidak memiliki dasar. “Kalau ada pelanggaran, Dewan Pers yang memberi peringatan. Jika tidak ada, media tak wajib menuruti permintaan takedown meski sudah disomasi,” katanya.
Dalam rilis terpisah, YBTA membeberkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 853/Pdt.G/2024/PN Jkt.Sel yang menyebut sejumlah pelanggaran terkait lisensi program HighScope di Indonesia. Putusan itu antara lain menyatakan:
– YPPBA tidak memiliki kewenangan memberi sublisensi.
– Pendirian PT HighScope Indonesia bertentangan dengan perjanjian lisensi.
– Lisensi YPPBA hanya untuk pelatihan guru, bukan operasional sekolah.
– Penjualan lisensi dilakukan melewati masa berlakunya perjanjian.
– Penggunaan kurikulum ECEP untuk level SD–SMA melanggar UU Sisdiknas.
– Kontrak YPPBA dinyatakan batal demi hukum.

Ditegaskan oleh Prof. Effendi Gazali bahwa integritas lembaga pendidikan harus menjadi prioritas. “Pendidikan tidak boleh dijalankan dengan manipulasi informasi. Taruhannya masa depan generasi kita,” ujarnya.
Dewan Pers kembali menegaskan bahwa media tidak perlu gentar selama bekerja sesuai kode etik dan prosedur jurnalistik. “Selama teman-teman menjalankan kerja jurnalistik yang benar, objektif, dan profesional, itu sudah cukup,” pungkas Prof. Komaruddin Hidayat. (red)
