Ritual Adat Molabot Tumpe

delapanplus.com, Kab.Banggai –

Ritual Adat Molabot Tumpe memiliki makna yang mendalam terkait ikatan persaudaraan di antara masyarakat Banggai, demikian dijelaskan Sekertaris Lembaga Adat Kabupaten Banggai, Sopansyah Yunan.

Dan tradisi ini bermula dari sejarah Kerajaan Banggai yang kala itu dipimpin oleh Raja Adi Cokro atau Raja Adi Soko.

Ketika itu, Raja Adi Soko yang hendak meninggalkan Batui menuju Banggai (sekarang Kabupaten Banggai Laut) dihadiahi sepasang Burung Maleo oleh ayah dari istri keduanya, Raja Matindok.

Suatu hari, Raja Adi Soko diamanatkan untuk mengemban tugas ke Tanah Jawa. Bersama anak dari istri ketiganya, Putri Saleh, Raja Adi Soko turut membawa sepasang Burung Maleo itu ke Tanah Jawa.

Seiring waktu tugas Raja Adi Soko di Jawa yang sangat lama, terjadilah kekosongan kepemimpinan di Kerajaan Banggai.

Guna menghindari kekacauan akibat kekosongan tersebut, para perangkat kerajaan dan tetinggi adat dan keturunan dari empat kerajaan kecil di Banggai membuat sayembara. Dari situ kemudian terpilihlah putra Raja Adi Soko dari istri keduanya, Abu Kasim untuk menjadi Raja. Akan tetapi Abu Kasim menolak diangkat menjadi Raja sebelum bertemu dan berkonsultasi langsung dengan sang ayah.

Kemudian berangkatlah Abu Kasim ke Tanah Jawa untuk bertemu sang ayah. Namun ketika bertemu, Raja Adi Soko menolak untuk kembali ke Banggai dan mengarahkan Abu Kasim untuk menemui kakaknya, Maulana Prince Mandapar, anak Raja Adi Soko dari istri pertamanya, yang dianggap lebih pantas untuk menjadi Raja.

Abu Kasim akhirnya kembali ke Banggai. Bersamaan dengan itu turut dibawa pula sepasang Burung Maleo pemberian mertua Aji Soko sebelumnya.

Singkat cerita, kepemimpinan di Kerajaan Banggai kembali berjalan dengan Maulana Prince Mandapar sebagai Raja. Akan tetapi, sepasang Burung Maleo itu tidak dapat berkembang biak di Banggai.

Akhirnya Abu Kasim membawa burung tersebut ke keluarganya di Batui untuk dikembangbiakkan. Mulai saat itulah, ia menyampaikan pesan yang terus dipegang teguh secara turun-temurun hingga saat ini. Yakni apabila Burung Maleo bertelur, telur pertamanya dikirim kepada keluarga di Banggai dan jumlah telur maleo yang dikirimkan menggambarkan jumlah keluarga di Batui.

“Inilah yang menjadi tanda untuk mempererat kekeluargaan antara keluarga di Banggai hingga kini,” ujar Sekertaris Lembaga Adat Kabupaten Banggai, Sopansyah Yunan.

)***Nawasanga

By Redaksi

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *