delapanplus.com, Surabaya –
Pengurusan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) dan Sertifikat Laik Fungsi (SLF) yang berada di bawah koordinasi Kementerian PUPR berpotensi menjadi ladang korupsi. Adapun modusnya dengan pola penyuapan dari pengusaha ke otoritas. Ditambah lagi, lamanya proses pengurusan PBG dan SLF tersebut.
Demikian diingatkan Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, dalam memperingati Hari Anti Korupsi 9 Desember.
Seperti diketahui, PBG adalah dasar hukum yang memungkinkan pemilik bangunan memulai konstruksi. Sedangkan SLF menyatakan bangunan tersebut aman untuk digunakan. Keduanya berfungsi untuk memastikan investasi bangunan yang aman dan legal.
“PGB dan SLF ini menyasar semua bangunan. Tidak hanya Gedung bertingkat. Tetapi juga Gudang dan perumahan. Persoalan yang dikeluhkan pelaku usaha adalah lamanya waktu pengurusan PBG dan SLF, membuat pelaku usaha menunjuk konsultan untuk mengurus, dimana biayanya akan menjadi sangat mahal. Dan ada potensi penyuapan agar dipercepat,” tegas LaNyalla (9/12).
Ketua Dewan Penasehat KADIN Jawa Timur itu juga mengungkap, bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga telah menyoroti persoalan lamanya waktu dan bervariasinya biaya konsultan pengurusan PBG dan SLF, sehingga diduga berpotensi terjadi tipikor penyuapan.
“PGB dan SLF ini menjadi lama karena harus melibatkan Tim Profesi Ahli (TPA) yang jumlahnya sedikit di Indonesia. Bahkan ada beberapa provinsi yang tidak memiliki TPA, karena organisasinya saja tidak ada. Tidak semua provinsi memiliki Perhimpunan Ahli Pengkaji Teknis Indonesia (PAPTI) yang eksisting,” ungkapnya.
Karenanya, lanjut LaNyalla, perlu perhatian serius dari Kementerian PUPR. Jangan sampai di tengah upaya pemerintah meningkatkan peringkat EoDB (Easy of Doing Business) justru jadi tergerus karena persoalan ini.
“Mungkin perlu segera diputuskan, metode untuk mempercepat pengurusan PBG dan SLF ini. Sekaligus kepastian biaya yang terjangkau. Yang disesuaikan dengan iklim dunia usaha yang baru saja recovery pasca Pandemi. Juga sistem IT yang lebih terintegrasi dan memudahkan. Sehingga para pelaku usaha tidak harus membayar konsultan,” tukas LaNyalla.
Ia pun juga berharap PUPR sebagai pelaksana dari Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang PBG dan SLF segera menentukan keseragaman dalam Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria. Sekaligus keseragaman biaya, atau mengacu kepada indek ekonomi masing-masing Kabupaten/Kota.
“Saya hanya berharap, jangan peraturan yang menyulitkan dan lama prosesnya, justru menjadi ladang tindak pidana penyuapan dan kemahalan biaya berusaha bagi para pelaku dunia usaha yang belum sepenuhnya bangkit pasca Pandemi. Selain merugikan, juga melemahkan skor kemudahan investasi di Indonesia,” pungkas Senator asal Jawa Timur ini.
)***Nawasanga