delapanplus.com – Jakarta,
Ya. Inilah judul pidato kebudayaan saya malam ini.
Megatruh. Megat-ruh. Megat artinya memutus. Jadi: megatruh adalah memutus ruh. Suasana dukacita yang mendalam. Bukan suasana perasaan semata, tetapi suasana ruh yang putus dan berada dalam alam kelam.
Mengapa begitu ?
O, Akal sehat jaman ini!
Bagaimana mesti kusebut kamu?!
Kalau lelaki kenapa seperti kue lapis?
Kalau perempuan kenapa tidak keibuan
dan kalau banci kenapa tidak punya keuletan?
Aku menahan air mata
Punggungku dingin
Tetapi aku mesti melawan
Karena aku menolak bersekutu dengan kamu!
Kenapa anarki jalanan
mesti ditindas dengan anarki kekuaasaan
apakah hukum tinggal menjadi syair lagu disco?
Tanpa panca-indera untuk fakta
tanpa kesadaran untuk jiwa
tanpa jendela untuk cinta kasih
Sayur mayurlah kamu
Dibius pupuk dan insektisida
Kamu hanya berminat menggemukkan badan
Tidak mampu bergerak menghayati cakrawala
Terkesima
Terbengong
Terhiba-hiba
Berakhir menjadi hidangan para raksasa
O, Akal sehat jaman ini
Karena menolak menjadi edan
Aku melawan kamu!
Para hadirin yang terhormat
Perkenankanlah saya mengulang apa yang sudah saya ucapkan dalam beberapa wawancara dengan pers. Adalah kodrat manusia bahwa ia mengandung Daulat Alam dan Daulat Manusia di dalam dirinya.
Kebudayaan yang kita warisi dari leluhur banyak merenungkan dan menghayati Daulat Alam di dalam kehidupan: kelahiran, kematian, perjodohan, nasib rezeki, penghayatan pancaindra, penghayatan badan dan penghayatan alam semesta.
Tetapi merenungkan Daulat Manusia tidak pernah tuntas. Daulat manusia terbatas sekali oleh sifat alam dalam dirinya. Terutama sekali terbatas oleh kelahirannya. Kalau lahir sebagai orang bawah, sebagai orang miskin, sebagai orang tanpa pendidikan, atau sebagai orang perempuan, sukar untuk meningkat keatas, karena tatanan masyarakat diatur seperti tatanan didalam alam: yang tikus tetap tikus, yang kucing tetap kucing, yang kambing tetap kambing, yang macan tetap macan.
Hanya para jagoan saja yang bisa menerobos tatanan masyarakat yang seperti itu. Misalnya Ken Arok, si anak jadah dan kriminal jalanan yang akhirnya bisa menjadi raja itu; atau Gajah Mada, tukang pukul yang akhirnya bisa menjadi mahapatih; atau Untung Surapati, seorang hamba sahaya yang bisa meningkat menjadi pahlawan atau jagoan; atau Ir. Soekarno, seorang anak guru yang bisa menjadi Presiden Indonesia yang pertama; atau orang-orang melarat yang bisa menjadi konglomerat.
Oh ya, akhirnya banyak juga jagoan-jagoan dalam berbagai bidang bisa muncul. Tetapi kejagoannyalah yang membuat ia mampu mendobrak tatanan hidup yang resmi, yang sebenarnya tidak banyak memberi hak kepada khalayak banyak untuk memperkembangkan Daulat Manusia mereka.
Para pemimpin bangsa kita, dari sejak zaman raja-raja dahulu kala, memang tidak pernah menaruh perhatian kepada pengembangan Daulat Manusia pada umumnya.
Saat Aristoteles, filsuf Yunani (384-322SM) menulis buku “Politica”, menerangkan hak rakyat untuk memilih pemimpin bangsanya, dan tidak membenarkan adanya tirani kekuasaan, para pemimpin bangsa kita masih hidup dalam kegelapan sejarah dan jelas tidak berminat pada filsafat.
Dan pada waktu Raja John dari Inggris mengesahkan Undang-Undang yang disebut orang sebagai Magna Carta, yaitu tahun 1215, raja mengakui kejelasan hak-hak bangsawan bawahannya dan juga hak-hak rakyat yang harus ia hormati dan tak mungkin ia langgar.
Jawa pada saat itu berada dalam pemerintahan Tunggul Ametung yang sebentar lagi akan digantikan oleh Ken Arok. Kedua penguasa dari Jawa itu tak pernah memikirkan atau mengakui UU apapun. Sabda raja itulah UU bagi rakyat.
Sebagaimana dalam alam bahwa yang kuat itu yang menang. Maka tatanan masyarakat leluhur kita itupun berlandaskan kenyataan bahwa yang kuat itu yang benar (might is right). Dan yang terkuat dalam di dalam masyarakat tentunya Raja. Jadi sabda Raja (Dekrit Raja atau Keppraj, yaitu Keputusan Raja) yang menjadi sumber kebenaran.
Tentu saja seorang raja Jawa tidak diperkenankan untuk sewenang-wenang. Ia diharapkan untuk Ambeg Paramarta serta menghayati Hasta Brata. Tetapi bila ternyata raja tidak memenuhi harapan itu, dan kejam seperti Amangkurat Tegalarum atau menjijikkan seperti Amangkurat II, ya tidak ada sanksi apa-apa sebab ia kuat, ia Raja.
Selanjutnya pada tahun 1295 Raja Edward dari Inggris memperbaiki hak-hak parlemen. Dia mengatakan bahwa hanya parlemen yang bisa mengubah hukum. Hal ini bersamaan dengan saat akhir pemerintahan Kertanegara dari Singasari dan munculnya Majapahit dibawah pimpinan Raden Wijaya.
Kedua penguasa itu, boro-boro punya parlemen, punya kitab UU sebagai landasan pemerintahannya pun tidak. Sabda raja tetap unggul di atas segala-galanya. Hal itu bukan pertanda kebudayaan bangsa kita rendah. Lihatlah candi-candi yang indah, seni membuat keris, syair-syair dari Empu Kanwa, Empu Sedah, Empu Panuluh. Raffles mengagumi karya sastra leluhur kita. Waktu pulang ke Inggris, setelah selesai tugasnya di Jawa, ia membawa 30 ton benda sastra dan seni dari Jawa. Kemudian dengan rasa kagum ia laporkan dan dikupas dalam bukunya “The History of Java”.
Tetapi didalam kebudayaan Jawa yang tinggi itu, para pujangga dan para rajanya ternyata tak pernah sadar akan perlunya hak-hak konstitusional bagi rakyatnya, yang dilindungi oleh pelaksanaan UU yang berlaku.
Di zaman pemerintahan Hayam Wuruk, menurut buku Negarakertagama yang ditulis oleh Empu Prapanca, pada pupuh 73 digambarkan bahwa Hayam Wuruk bersifat adil dalam melaksanakan UU Agama, yang sebenarnya dituliskan dalam kitab yang berjudul Kutara Manawadharmasastra.
Bahkan Demung Sora, seorang menterinya dihukum mati karena telah membunuh Mahisa Anabrang yang tak berdosa. Dengan begitu Demung Sora telah melanggar pasal Astadusta dari Kitab UU Kutara Manawadharmasastra itu. Namun begitu tidak tercantum di dalam Kitab UU itu hak rakyat untuk punya perwakilan dan ikut menentukan jalannya pemerintahan.
Sementara itu di Inggris pada tahun 1649 Raja Charles I dihukum pancung karena dianggap melecehkan parlemen, dan untuk sementara Lord Cromwell diangkat menjadi pelindung parlemen dengan gelar Lord Protector pada tahun 1653. Itulah tahun-tahun berkuasanya Amangkurat I yang kejam, yang sibuk membina kekuasaan yang absolut dan pemerintahan yang ketat dan memusat, yang membuat kehidupan masyarakat menjadi sumpek dan akhirnya dibenci oleh rakyat.
Dan waktu John Locke, filsuf dan sastrawan Inggris menulis dua esai tentang pemerintahan yang ideal, yang menghormati hak milik warganegara dan berkewajiban melindungi segala milik warganegara itu, di Mataram berkuasa Amangkurat II yang memerintah di Karta Sura dengan sewenang-wenang, sombong, kekanak-kanakan, pengecut dan keras kepala. Ia telah membunuh bapaknya Amangkurat I yang tengah sekarat di Tegalarum. Lalu mengkhianati sahabatnya Trunojoyo. Menggadaikan Semarang kepada VOC. Dan menyewakan tebang hutan dari beberapa wilayah kepada para cukong. Lalu para cukong menjual kayunya atau hak tebang hutannya pada VOC. (Saya teringat pada sistem HPH dewasa ini. Ternyata pelopornya adalah Amangkurat II dengan asprinya yang bernama Adipati Suranata).
Ya, Amangkurat II inilah pelopor kebangkrutan Mataram, yang sebenarnya memang sudah salah membangun sejak rajanya yang pertama yaitu Panembahan Senopati. Sebab raja-raja pendahulu Dinasti Mataram ini salah mengira bahwa stabilitas negara itu adalah pemusatan kekuasaan.
Tetapi di Inggris, sejak zaman Ken Arok, Kertanegara atau Raden Wijaya, para penguasanya atau raja-rajanya mau mengakui daulat hukum disamping daulat raja, bahkan pada akhirnya, sejajar dengan zaman Majapahit, raja Inggris mau mengakui adanya daulat rakyat, ternyata negaranya terus stabil. Bukan berarti tanpa pergolakan. Wah, justru banyak pergolakan politik di sana. Tetapi kepastian hidup rakyat makin lama makin stabil. Dan ternyata dinasti raja-raja mereka tetap lestari bergengsi sampai zaman ini, sehingga negaranya bisa maju.
Sebab kemajuan negara itu tidak mungkin diciptakan penguasa. Paling jauh penguasa itu hanya bisa menyeret bangsanya maju setahap saja, tetapi perkembangan bertahap-tahap seperti di Inggris (dari tahap pertanian ke tahap filsafat, perdagangan, ilmu pengetahuan, teknologi modern, industri dan kebudayaan cybernetic) hanyalah bisa dicapai dengan kemampuan rakyat yang selalu maju berkat dukungan daulat rakyat, yang dilindungi oleh daulat hukum.
Tidak ada contohnya dalam sejarah dunia bahwa pemerintahan yang totaliter bisa memajukan bangsa dalam tahap-tahap perkembangan budaya. Di kala dipimpin oleh pemerintah yang totaliter, meskipun sudah mencapai teknologi tinggi, seperti Jepang, Korea dan Jerman, rupanya budaya filsafat, sosial dan ekonomi macet. Baru setelah daulat hukum dan daulat rakyat berlaku, maka ketiga negara itu bisa melewati berbagai tahap budaya dengan pesat, hingga kini harus diperhitungkan sebagai kekuatan yang ikut menentukan perkembangan budaya dunia.
Sebaliknya para raja Mataram yang maniak akan sentralisasi kekuasaan itu, tidak pernah bisa membawa kemajuan kepada rakyat Jawa. Dipandang dari segi kepentingan rakyat, raja-raja Mataram adalah raja-raja yang gagal. Tidak ada kharisma mereka, sehingga gagal menyatukan Jawa.
Sebelum ada Mataram, menurut laporan orang Portugis Jono de Barros, orang Jawa itu angkuh, berani, berbahaya dan pendendam. Kalau tersinggung perasaannya sedikit saja, terutama kalau disentuh kepala atau dahinya, terus mengamuk membalas dendam.
Seorang Portugis yang lain, Diego de Couto melaporkan bahwa ia mengagumi kecakapan berlayar orang-orang Jawa, bahasa Jawa yang selalu berkembang dan punya aksara sendiri, namun mereka begitu angkuh sehingga menganggap bangsa lain lebih rendah. Maka kalau orang Jawa lewat dijalan, dan melihat ada orang bangsa lain yang berdiri di onggokan tanah atau suatu tempat lain yang tinggi dari tanah tempat ia berjalan, apabila orang itu tidak segera turun dari tempat semacam itu, maka ia akan dibunuh oleh orang Jawa itu. Sebab ia tidak akan memperkenankan orang lain berdiri ditempat yang lebih tinggi.
Juga orang Jawa tak akan mau menyunggi beban di atas kepalanya, biarpun ia diancam dengan ancaman maut. Mereka adalah pemberani dan penuh keyakinan diri dan hanya karena penghinaan kecil saja bisa melakukan amuk untuk balas dendam. Dan meskipun ia telah ditusuk-tusuk dengan tombak sampai tembus, mereka akan terus merangsek maju sehingga dekat kepada lawannya.
Bagaimanapun ekstremnya gambaran itu, pada intinya orang-orang Jawa itu terlihat tangkas, berani, berstamina, dan percaya pada diri secara luar biasa. Dan nyatanya di zaman kerajaan Demak dan Banten, saat kedua laporan itu ditulis, orang-orang Jawa menguasai setiap jengkal dari tanahnya. Tak ada kekuatan asing yang bisa melecehkan kedaulatan tanah air mereka. Banten dan Demak bebas dari kekuasaan asing. Semarang dan Jepara menjadi tempat galangan kapal yang memprodusir kapal-kapal besar dan kecil dalam produktivitas yang tinggi.
Arsitektur mengalami perkembangan yang besar. Atap Limasan, gandok, pringgitan dan pendopo joglo yang lebih besar diciptakan (sebelumnya pendopo itu kecil seperti gazebo).
Orkestrasi gamelan berkembang karena diciptakannya gambang penerus, bonang penerus dan sebagainya. Variasi kendang-kendangpun bertambah. Lalu tembang-tembang Mocopat muncul sebagai eksperimen baru. Pertunjukan wayang kulit ditambah dengan kelir dan blencong.
Santan dan minyak goreng ditemukan. Begitu pula krupuk, trasi dan penganan-penganan dari ketan bertambah variasinya. Masakan pepes dan kukus juga diketemukan. Lalu soga untuk pewarna kain batik, genting dari tanah liat, dan baju yang berlengan dan berkancing.
Semua itu tentu saja merupakan pengaruh asing. Barangkali pengaruh dari Cina dan Campa. Tetapi daya adaptasi dan mencerna rakyat terhadap unsur-unsur baru sangat kreatif. Keunikan sastra suluk di zaman itu lebih lagi membuktikan kemampuan orang-orang Jawa untuk beradaptasi tanpa kehilangan diri, bahkan bisa unik. Mereka penuh harga diri dan pasti diri. Ini semua karena mereka merasa punya jaminan kepastian hidup. Dan kepastian hidup ada karena adanya daulat hukum yang tertera dalam kitab “Salokantara” dan “Jugul Muda” ialah kitab UU Demak yang punya landasan syari ‘ah agama islam, yang mengakui bahwa semua manusia itu sama derajatnya, sama-sama khalifah Allah di dunia.
Raja-raja Demak sadar dan ikhlas dikontrol oleh kekuasaan para wali. Raja-raja Demak berkuasa hanya selama 65 tahun. Tetapi mereka adalah pahlawan bangsa yang telah memperkenalkan daulat hukum kepada bangsanya, yang akan terus membekas sampai kepada Mohammad Syafei, HOS Cokroaminoto dan tokoh-tokoh pembela hak azazi manusia (HAM) dewasa ini.
Sayang, begitu muncul Panembahan Senopati, rasa hormat pada daulat hukum itu dilecehkan. Sultan bergelar Sayidin Panatagama, dan terus sampai kepada seluruh keturunannya, kefanatikan terhadap kekuasaan raja yang mutlak dan sentralisasi kekuasaan itu dipertahankan.
Rakyat disebut kawula (abdi) dan bukan warganegara. Hidup rakyat tidak pasti. Inisiatif mereka mulai terbatas. Banyak larangan untuk ini dan itu. Rakyat tak bisa mengontrol atau memberi tanggapan kepada kekuasaan. Maka daya hidup rakyat merosot.
Yacob Couper, panglima tentara Belanda, menganggap daya tempur tentara Mataram sangat rendah. Sangat jauh dari deskripsi yang dilukiskan oleh Jono de Borros ataupun Diego de Couto. Sebenarnya saya sudah sering melukiskan perbedaan antara Mataram dan Demak ini berulang kali dalam wawancara-wawancara dengan pers. Tetapi sekarang, maafkanlah, perlu saya ulang lagi demi kejelasan argumentasi pembicaraan saya malam ini.
Raja yang melecehkan daulat rakyat, akhirnya juga melecehkan daulatnya sendiri. Sebab daulat rakyatlah yang mendukung daulat raja. Sebagaimana daulat rakyat Inggris yang memungkinkan daulat raja Inggris bergema di seluruh dunia.
Dan menurunnya wibawa daulat rakyat Mataram juga menyebabkan daulat raja mereka semakin merosot. Sultan Agung tidak pernah bisa menjamah Batavia. Anaknya Amangkurat I lari terbirit-birit oleh pemberontakan Trunojoyo. Lalu pergi ke Tegal untuk mengemis perlindungan kepada VOC. Raja yang tidak mau berbagi kekuasaan dengan rakyat itu, malah mau berlindung dibawah ketiak orang asing yang bernama VOC. Belum sampai ke Tegal ia sudah sekarat. Dalam keadaan sekarat, ia diracun oleh anaknya yang punya sifat menjijikkan dipandang dari segi kemanusiaan yang beradab, yang kemudian menggantikannya dan bergelar Amangkurat II. Dan raja yang congkak, yang gila kekuasaan, si Amangkurat II ini suka berdandan seperti Belanda, secara diam-diam dileceh oleh Gubernur Cornelius Speelman sebagai “anak emas kompeni”.
Raja yang tambun ini menyebut Gubernur “Eyang” dan menyebut komandan militer lokal Belanda dengan sebutan “Romo”. Lebih jauh lagi, nanti salah satu keturunannya yang bernama Paku Buwono II, ternyata telah melecehkan harga dirinya sendiri. Meskipun ia melecehkan daulat rakyat, ternyata ia tidak segan menulis perjanjian dengan Kompeni Belanda pada tahun 1749 yang bunyinya sebagai berikut:
“Inilah surat perkara melepaskan serta menyerahkan terhadap keraton Mataram, dari kanjeng Susushunan Paku Buwana Senapati Panatagama, ialah dikarenakan oleh perintah Kanjeng Kumpeni yang agung itu, keratuan ini diserahkan kepada Kanjeng Tuwan Gupernur serta direktur di tanah Jawa Djohan Andrijas Baron Van Hogendorf. Hamba, Kanjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati Hing Ngalaga Ngabdulrahman Sayidin Panatagama…………”
Begitu dan seterusnya ia tanpa malu-malu merendahkan dirinya dan mengangkat-angkat penguasa asing dengan cara yang berlebihan. Sungguh karikatural.
Masa pemerintahan Kartasura dan Surakarta adalah masa yang sangat memalukan bagi sejarah Mataram dan sejarah orang Jawa.
Kesenian yang dilahirkan adalah kesenian manis seperti permen. Penuh rasa haru tetapi tidak punya ketajaman olah pikiran. Ada seorang pujangga yang istimewa: ialah Raden Ronggowarsito yang muncul jauh setelah Mataram sirna. Tetapi ia tidak dihargai oleh para penguasa saat itu, meski sangat dicintai oleh rakyat kebanyakan.
Ekonomi kacau. Utang kepada Kompeni menumpuk. Amangkurat II menggadaikan Semarang dan hutan-hutan. Pakubuwana II menggadaikan kerajaan. Sedangkan di Inggris, di masa yang sezaman dengan Amangkurat II, karena rakyat Inggris punya kedaulatan yang jelas, yang dilindungi UU, maka karena informasi mengenai jalannya ekonomi kerajaan Inggris bersifat transparan, dan kepastian hukum bisa bersifat vertikal, tidak horisontal, sehingga perencanaan dagang dan ekonomi bisa lebih aman diatur, maka pada tahun 1694 Bank of England sudah mulai didirikan.
Kekuatan dan bonafiditas perbankan suatu bangsa adalah bonafiditas kemampuannya membangun dan berencana. Kekuatan dan bonafiditas semacam itu hanyalah mampu dihasilkan oleh daulat rakyat yang kuat dan terus dibina.
Tujuan dari pidato saya ini adalah untuk secara jujur melakukan instropeksi budaya. Negara kita akhirnya sudah merdeka, tetapi kenapa bangsa Indonesia masih belum juga sepenuhnya bisa merdeka?
Bukankah tanpa hak hukum yang bisa berfungsi vertikal suatu bangsa tidak bisa benar-benar merdeka.
Sejarah menunjukkan lubang-lubang dari daya pertahanan kita sebagai suatu bangsa sebagaimana nampak dalam sejarah Mataram.
Namun ada juga kenyataan bisa punya harapan apabila menilik kepada sejarah Demak.
Hadirin sekalian.
Kesadaran adalah Matahari
Kesabaran adalah bumi
Keberanian menjadi cakrawala
Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata
Cipayung Jaya
WS.Rendra
**); Dibacakan pada 17 November 1997, saat WS Rendra mendapat Penganugerahan Gelar Doktor Honoris Causa dalam Bidang Kebudayaan Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta.