delapanplus.com – Jakarta, 

Terbitlah surat kabar pertama buatan orang Indonesia di Bandung pada tahun 1907 bernama “Medan Prijaji” yang ditulis oleh Tirto Adhi Soerjo.

Surat kabar Medan Prijaji merupakan pelopor lahirnya Pers di Indonesia dan menjadi Awal Mula Pers menyuarakan Kebebasan dalam Berpendapat.

Dan Tirto Adhi Soerjo adalah seorang Tokoh Pers dan Tokoh Kebangkitan Nasional Indonesia. Ia dikenal sebagai perintis persuratkabaran dan kewartawanan nasional Indonesia.

Karena kiprahnya di Bidang Jurnalistik, Tirto Adhi Soerjo mendapatkan julukan sebagai Bapak Pers Nasional.

Perlu diketahui ; Setelah Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff menjabat, terbitlah surat kabar :
“Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnementen”, pada 7 Agustus 1744.

Lalu, ketika Inggris menguasai wilayah Hindia Timur pada 1811, terbit surat kabar berbahasa Inggris :
“Java Government Gazzete” pada 1812.
“Bataviasche Courant” kemudian diganti “Javasche Courant” (tiga kali seminggu pada 1829). Dan pada 1851, “De Locomotief” terbit di Semarang.

Abad ke-19, muncul surat kabar berbahasa Melayu dan Jawa meskipun para redakturnya masih orang-orang Belanda, seperti :
“Bintang Timoer” (Surabaya, 1850),
“Bromartani” (Surakarta, 1855),
“Bianglala” (Batavia, 1867), dan “Berita Betawie” (Batavia, 1874).

Lalu, pada 1907, terbitlah “Medan Prijaji” di Bandung sebagai Pelopor Pers Nasional. Diterbitkan oleh pengusaha pribumi untuk pertama kali, yaitu Tirto Adhi Soerjo.

30 Tahun kemudian LKBN Antara pada 13 Desember 1937, hadir.

Ketika Jepang berhasil menaklukkan Belanda pada 1942, kebijakan pers turut berubah. Penguasa militer Jepang lalu menerbitkan sejumlah surat kabar sendiri. Yaitu :
Jawa Shinbun yang terbit di Jawa,
Boernoe Shinbun di Kalimantan,
Celebes Shinbun di Sulawesi, Sumatra Shinbun di Sumatra,  dan Ceram Shinbun di Seram,

September hingga akhir 1945, Pers Nasional semakin kuat ditandai dengan penerbitan :
“Soeara Merdeka” di Bandung
“Berita Indonesia” di Jakarta, lalu “Merdeka”, “Independent”, “Indonesian News Bulletin”, “Warta Indonesia”, dan “The Voice of Free Indonesia”.

Lalu hadir, RRI pada 11 September 1945, dan baru kemudian pada 1946 organisasi PWI ada. Kemudian Kehidupan Pers pada 1950-1960-an ditandai oleh munculnya kekuatan-kekuatan politik dari golongan nasionalis, agama, komunis dan tentara.

Di Tahun 1962 TVRI, Stasiun Televisi Pemerintah pada 1962, hadir.

24 Agustus 1989, Stasiun Televisi Swasta Pertama bersistem SST yang didirikan Rajawali Citra Televisi Indonesia atau RCTI,
dengan cakupan siaran di Jakarta, Diresmikan.

Kemudian menyusul televisi swasta lainnya seperti SCTV, Indosiar, MetroTV,  Lativi, ANTV,  TPI, TransTV,   Trans7, NetTV, CNN Indonesia, dst.

Perlu diketahui pula, secara etimologis, kata Pers (Belanda), atau Press (inggris), atau presse (prancis), berasal dari bahasa latin, Perssare dari kata premere, yang berarti “Tekan” atau “Cetak”. Sedangkan definisi terminologisnya adalah “media massa cetak” atau “media cetak”.

Lantas, apa bedanya Jurnalistik dengan Pers? Dalam pandangan awam, Jurnalistik dan Pers seolah sama atau bisa dipertukarkan satu sama lain, “Sesungguhnya Tidak”.

Jurnalistik menunjuk pada Proses Kegiatan seorang Jurnalis. Sedangkan Pers berhubungan dengan Media – nya.

(Bagaimana dengan perkembangan Jurnalis di Era Media Elektronik dan kaitannya dengan Media Sosial dewasa  ini !?).

Jurnalistik Elektronik (Electronic Journalism) atau Jurnalistik Penyiaran (Broadcast Journalism);  Yaitu Proses Jurnalistik di media Radio, Televisi, dan Film. Sedangkan dalam kegiatan jurnalistik, seorang jurnalis bisa mendapatkan berbagai keuntungan dari adanya media sosial.

Sementara itu, Media Sosial merupakan Medium Awal memperoleh informasi langsung dari lapangan yang makin diperhatikan jurnalis. Sehingga perlu di cek n ricek, dikoreksi dan dilengkapi secara jurnalistik (5W dan 1H atau setidaknya memenuhi 3 unsur 3 W didalamnya, mohon dikoreksi jika ada yang keliru, red).

Bagaimana pula dengan Jurnalisme Digital !? Yakni semua bentuk jurnalisme yang menggunakan sumber daya digital. Tidak hanya bersumber yang ada di Internet saja, melainkan juga di Televisi maupun Radio Digital.

Sehingga untuk Wartawan Media Cetak memiliki otoritas sebesar-besarnya dalam menulis berita dengan framing mereka. Sedangkan untuk Media Online sulit dilakukan oleh Reporter, karena kebanyakan Redaktur yang menulis Berita, dengan dicek oleh Redaktur Pelaksana.

Sebagai catatan lain, yakni hadirnya Mobile Journalism (Mojo), atau yang sering disebut dengan Jurnalisme Mobile. Merupakan sebuah konsep dalam dunia jurnalisme yang Mengandalkan Penggunaan Perangkat Mobile, khususnya smartphone, dalam proses peliputan dan distribusi beritanya.

Mobile Journalism bukanlah Citizen Journalism. Memang Citizen Journalism menjadi solusi agar masyarakat bisa mengetahui berita terbaru dengan lebih cepat dan beragam. Tapi di sisi lain, Berita yang dihasilkannya tersebut Rentan dijadikan sebagai Alat menyebarkan Hoax.

Bagaimana dengan Jurnalisme Publik, yakni sebuah Praktik Jurnalisme untuk memahami masalah umum yang dihadapi oleh publik. Dan Fenomena Jurnalisme Publik di Indonesia umumnya dilakukan dengan adanya “Kolaborasi antara Warga dan Jurnalis Profesional”.

Disisi lain, hadir Blogger, satu-satunya jurnalis atau wartawan yang tersisa ‘Ketika sebuah lembaga yang berwenang dalam negara menyensor media utama’. Bahkan medium Blog atau weblog di anggap sebagai revolusi informasi terbaru dan terkini. Blog atau weblog sebagian besar terdiri atas berita dan diperbarui (update) secara rutin.

Sedangkan Vlogger,  merupakan seseorang yang rutin merekam serta mengunggah video dari suatu momen, biasanya mereka menggabungkan video dan blog, sehingga menciptakan konten yang kuat di tulisan dan video.

Berbeda dengan, Youtuber dimana seseorang yang rutin dan aktif mengunggah video di platform YouTube, saja.

Jurnalisme Video
Pendahulu Jurnalisme Video, pertama kali muncul pada tahun 1960an di AS, ketika wartawan harus menulis dan merekam cerita mereka sendiri.

Jurnalisme Video adalah salah satu bentuk jurnalisme , di mana jurnalis memotret, mengedit, dan sering kali menyajikan materi videonya sendiri.

Jurnalisme video memungkinkan videografer mendokumentasikan peristiwa apa pun saat peristiwa itu masih terjadi.

Hal ini juga semakin meluas di kalangan Surat Kabar, bahkan New York Times pun telah  mempekerjakan dua belas Jurnalis Video – nya.

Meningkatnya popularitas dalam Berita Online telah membuat Jurnalis Video dipekerjakan oleh Fairfax, News Limited dan The West Australian Newspaper Holdings untuk memproduksi konten video untuk situs web berita mereka.

Jurnalis video Kevin Sites mungkin yang paling terkenal karena memiliki situs webnya sendiri Kevin Sites di Zona Panas di mana dia menghabiskan satu tahun berpindah dari satu perang ke perang berikutnya. Dia memulai sebagai juru kamera tradisional tetapi beralih ke jurnalisme video.

The New York Times mempekerjakan 12 jurnalis video yang sebagian besar berlatar belakang televisi dan dokumenter. Unit video The Times secara teratur memproduksi film dokumenter untuk disertakan dengan cetakan yang dimuat di surat kabar.

Pada tahun 2012, mantan jurnalis video New York Times dan Current TV, Jaron Gilinsky, mendirikan Storyhunter, jaringan yang terdiri dari 25.000 Jurnalis Video di 190 Negara.

Lantas, bagaimana dengan Jurnalisme Video di Indonesia !? Namun yang terpenting bahwa dalam karya Jurnalistik harus memiliki tingkat Objektivitas dan Kejujuran didalamnya.

)*** ditulis kembali oleh Bambang Tjoek Priambodo

By Redaksi

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *