Jakarta, Delapanplus.com –
Di sebuah sudut Brooklyn, seorang remaja bernama Mike Tyson tumbuh di lingkungan yang kasar dan penuh kekerasan. Dia bukan siapa-siapa, hanya anak kecil dengan masa depan yang tampak suram. Di usia 12 tahun, Tyson sudah berulang kali keluar masuk pusat rehabilitasi remaja. Hidupnya penuh dengan pencurian, perkelahian, dan rasa takut.
Namun, hidupnya berubah pada hari ketika ia bertemu dengan seorang pria tua bernama Cus D’Amato.
Mike Tyson pertama kali diperkenalkan kepada Cus oleh pelatihnya di pusat rehabilitasi, Bobby Stewart. Bobby melihat bakat luar biasa dalam Tyson—bakat mentah yang membutuhkan arahan. Ia membawa Tyson ke Catskill, New York, ke gym kecil milik Cus D’Amato, seorang pelatih legendaris yang telah melahirkan juara-juara tinju.
Ketika Cus pertama kali melihat Tyson, ia langsung tahu bahwa anak ini memiliki sesuatu yang spesial. “Dia seperti berlian mentah,” ujar Cus kemudian. Tapi Tyson saat itu hanyalah anak muda bermasalah dengan sedikit disiplin dan banyak kemarahan. Cus memandang lebih dalam. Dia tidak hanya melihat calon petinju; dia melihat anak yang membutuhkan figur ayah.
Cus menerima Tyson dengan tangan terbuka, mengajaknya tinggal di rumahnya di Catskill. Bersama dengan Camille Ewald, pasangan hidup Cus, mereka memperlakukan Tyson seperti keluarga sendiri. Di rumah itu, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Tyson merasakan stabilitas dan perhatian.
Pembentukan Seorang Juara
Di gym, Cus tidak hanya mengajarkan Tyson tentang teknik tinju; dia mengajarkan cara berpikir seorang juara. Cus percaya bahwa kekuatan mental adalah kunci keberhasilan di atas ring. “Tinju adalah 90% mental dan 10% fisik,” sering ia katakan kepada Tyson.
Cus juga memperkenalkan Tyson pada konsep peek-a-boo style, gaya bertarung dengan gerakan kepala yang cepat dan pertahanan rapat. Teknik ini, dikombinasikan dengan kekuatan alami Tyson, menciptakan gaya bertarung yang mematikan.
Tapi hubungan mereka lebih dari sekadar pelatih dan atlet. Cus adalah mentor, motivator, bahkan figur ayah bagi Tyson. Dia membangun kepercayaan diri Tyson yang hancur akibat masa kecilnya yang sulit. “Jika kamu percaya pada dirimu sendiri seperti aku percaya padamu, kamu akan menjadi juara dunia,” Cus pernah berkata kepada Tyson.
Tyson menyerap setiap kata dari Cus seperti spons. Ia belajar untuk memercayai dirinya sendiri, memfokuskan kemarahannya di ring, dan melihat tinju sebagai jalan keluar dari kemiskinan.
Cinta dan Ketegasan Cus
Meski mencintai Tyson seperti anak sendiri, Cus juga sangat keras. Dia menuntut disiplin yang ketat dan tidak mentoleransi kesalahan. Cus tahu bahwa untuk membuat Tyson menjadi juara, ia harus mempersiapkannya menghadapi tekanan yang akan datang.
Cus sering berkata kepada Tyson bahwa musuh terbesarnya bukanlah lawannya di ring, melainkan dirinya sendiri. “Ketakutan adalah teman sekaligus musuhmu,” Cus menjelaskan. “Gunakan ketakutanmu untuk mendorong dirimu, jangan biarkan dia melumpuhkanmu.”
Meninggalkan Warisan
Cus D’Amato meninggal pada tahun 1985, tepat ketika karier Tyson mulai meroket. Bagi Tyson, kehilangan Cus adalah pukulan besar. Dia kehilangan pelatih, mentor, sekaligus figur ayahnya. Namun, warisan Cus tetap hidup dalam dirinya. Semua pelajaran yang diajarkan Cus—tentang tinju, kehidupan, dan kepercayaan diri—menjadi fondasi bagi Tyson untuk menjadi juara dunia termuda dalam sejarah tinju pada usia 20 tahun.
“Saya tidak akan pernah menjadi siapa-siapa tanpa Cus,” ujar Tyson bertahun-tahun kemudian. “Dia membuat saya percaya bahwa saya bisa menjadi yang terbaik.”
#eightpluswatcher